Sidik Jari Genetika

Sidik Jari Genetika - STIFIn BanyuwangiPada situasi pelacakan forensik konvensional buntu, akibat ciri biometri rusak, pelacakan dengan tes DNA masih dapat diharapkan membantu. Tes DNA juga dimanfaaftkan untuk melacak risiko penyakit keturunan. Ledakan bom di depan kedutaan Australia di Jakarta, mencuatkan tema tes DNA, untuk identifikasi jatidiri korban yang hancur. Apa itu tes DNA ? Mengapa tes ini begitu canggih, hingga dapat menentukan jatidiri korban ledakan bom yang sudah hancur ? Sejak awal abad ke 20, para ahli forensik atau pihak kepolisian, menggunakan berbagai ciri khas pada manusia, yang disebut biometri, sebagai sarana untuk identifikasi jatidiri. Yang paling populer dan merupakan standar forensik sejak lama, adalah identifikasi sidik jari. Sebab, diketahui nyaris tidak ada yang sidik jarinya identik. Juga kembar identik, biasanya memiliki sidik jari yang berbeda. Selain metode identifikasi sidik jari, juga dikembangkan metode identifikasi ciri biometri lainnya, misalnya dengan sidik retina mata, catatan susunan gigi, bentuk tengkorak kepala atau yang lainnya. Namun, dalam kondisi tertentu, metode identifikasi ciri biometri sulit diterapkan. Misalnya, untuk kasus korban ledakan bom atau jatuhnya pesawat terbang, dimana tubuh korban hancur terpotong-potong. Atau juga dalam kasus kejahatan, misalnya pembunuhan yang tidak meninggalkan jejak atau tanda apapun.

Rekayasa genetika
Sampai 20 tahun lalu, memang amat sulit melakukan identifikasinya. Namun semua berubah, ketika pada tanggal 10 September tahun 1984, Profesor Alec Jeffrey pakar genetika dari Universitas Leicester di Inggris mengumumkan penemuannya, yakni pelacakan jatidiri menggunakan sidik jari DNA. Pada saat itu, Alec Jeffrey sedang melakukan rangkaian penelitian genetika. Seperti diketahui, manusia tersusun dari sekitar 30 milyar kode genetika yang disebut Deoxyribo Nucleic Acid ? DNA, yang merupakan rangkaian pasangan basa Thymin, Adenin, Guanin dan Cytosin. Setiap orang, memiliki ciri kode DNA yang berbeda. Ibaratnya sidik jari, maka sidik jari DNA ini juga bisa dibaca. Bentuknya berupa garis-garis yang mirip seperti bar-code di kemasan makanan atau minuman. Dengan membandingkan kode garis-garis DNA itu, dengan DNA anggota keluarga terdekatnya, jatidiri korban ledakan bom atau jatuhnya pesawat terbang yang hancur, masih dapat dilacak. Misalnya dalam kasus korban ledakan bom, serpihan tubuh para korban yang sulit dikenali, diambil sekuens genetikanya. Biasanya antara 30 sampai 100 sekuens rantai kode genetika. Kemudian dibandingkan dengan sekuens kode genetika keluarga terdekatnya, biasanya ayah atau saudara kandungnya. Jika nyaris identik dalam arti banyak sekali kode yang sama, maka jatidiri korban dapat dipastikan.

Teknologi tinggi
Memang logikanya terdengar mudah. Sebetulnya metode tes DNA itu amat rumit dan tergolong teknologi tinggi. Prosedurnya dimulai dengan mengisolasi sekuens DNA dari sel, biasanya dari darah, kulit atau rambut. Sejenis enzym khusus kemudian digunakan untuk ibaratnya menggunting DNA itu pada tempat yang tepat. Potongan DNA ini kemudian disortir besarnya, menggunakan teknik yang disebut elektro-phoresis. Kemudian sekuens DNA dipindahkan ke lembaran nylon yang sebelumnya dicelupkan ke dalam gel khusus. Dengan membubuhkan bahan pewarna atau unsur radioaktif, barulah akan kelihatan pola garis-garis yang merupakan sidik jari DNA. Setelah Sir Alec Jeffrey memperkenalkan metode sidik jari genetika itu, banyak pihak menggunakannya untuk kepentingan masing-masing. Akan tetapi, memang yang terutama memanfaatkan sidik jari genetika, adalah pihak kepolisian. Sejak akhir tahun 80-an, di sejumlah negara maju dikembangkan apa yang disebut bank data sidik jari genetika. Terutama yang disimpan di sana, adalah data dari para penjahat atau mereka yang pernah dihukum. Tujuannya, tentu saja untuk memastikan dengan tepat, dugaan atau tersangka pelaku dalam tindak kejahatan. Seperti juga metode pencocokan sidik jari, metode tes DNA terbukti dapat melacak pelaku kejahatan.

Forensik non-konvensional
Pelacakan menggunakan sidik jari genetika, biasanya diterapkan jika pelaku kejahatan tidak meninggalkan jejak forensik konvensional, misalnya sidik jari. Tentu saja pelacakan kejahatan semacam ini, tidak semudah seperti dalam film. Namun jelas amat membantu menemukan pelaku kejahatan. Misalnya saja, sebuah kasus pembunuhan di kota Koeln di Jerman, pelakunya dapat terungkap 12 tahun kemudian, setelah polisi menerapkan tes DNA. Pakar biologi forensik dari Jerman, Mark Benecke mengatakan, kejahatan selalu meninggalkan jejak, sekecil apapun. Jika metode pelacakan konvensional, selalu mencari jejak yang nyata, pelacakan dengan tes DNA cukup dengan jejak kecil atau jejak mikro. Pelaku pembunuhan di kota Koeln di Jerman misalnya, tertangkap karena di kuku jari korban yang melawan dan meronta, terdapat jejak kulit pelaku. Prosedur yang memakan waktu dan sulit, adalah untuk menyamakan kode sidik jari genetika yang ditemukan, dengan data di bank data genetika. Untunglah dengan peralatan komputer yang semakin canggih, prosedur identifikasi dan perbandingan dapat dipercepat.

Diagnosa risiko
Tentu saja sidik jari genetika ini, tidak hanya berguna bagi pihak kepolisian. Terutama juga kalangan kedokteran memetik banyak manfaat. Misalnya saja untuk mendiagnosa kelainan genetika yang diturunkan, pada bayi yang baru dilahirkan di rumah sakit. Penyakit keturunan yang dilacak, antara lain hempofilia, penyakit Huntington, cystic fibrosis, alzheimer, anemia sel sabit atau thalasemia. Dengan deteksi dini adanya penyakit keturunan semacam itu, para dokter, perawat dan orang tua bayi, dapat mengantisipasi dan mengambil tindakan yang tepat. Juga, para dokter seringkali menggunakan data sidik jari genetika ini, untuk memberikan konsultasi kepada calon orang tua, yang anaknya memiliki risiko mendapat penyakit keturunan. Juga sidik jari DNA dapat digunakan untuk menentukan ayah biologis seorang bayi. Terdapat banyak kasus, dimana terjadi sengketa dalam rumah tangga, akibat keraguan menyangkut siapa aya biologis seorang bayi. Untuk itu, juga dapat dilakukan tes identifikasi menggunakan sidik jari DNA. Caranya, dengan membandingkan sekuens DNA bayi dengan sekuens DNA orang-orang yang diduga ayah biologisnya. Tes DNA semacam ini, terutama di negara maju, amat diperlukan untuk menetapkan vonis bagi perwalian anak, pembagian warisan, atau perkara hukum lainnya.

Akurasi dan penyalah gunaan
Tentu saja, setelah menggambarkan keunggulannya, pasti dipertanyakan bagaimana akurasinya ? Apakah betul, tidak ada orang yang kode sidik jari genetiknya identik ? Memang diakui, seperti juga pada metode forensik memanfaatkan sidik jari, terdapat kemungkinan kemiripan. Disebutkan, kemungkinan kemiripannya satu banding lima juta. Jadi hitungan matematikanya, jika di Indonesia terdapat 200 juta penduduk, ada kemungkinan kemiripan sidik jari genetika itu pada 40 orang.
Namun dalam melacak kejahatan atau untuk tujuan lain, polisi, pakar forensik atau pakar rekayasa genetika, memiliki metode yang terpercaya, yang dapat mereduksi kesalahan. Masalah lainnya yang dihadapi, justru datang dari ketakutan penyalahgunaan sidik jari genetika ini. Prof. Jeffrey mengakui, bisa saja data basis genetika itu, dimanfaatkan untuk merugikan seseorang, berdasarkan pelacakan asal-usul keturunan atau penyakitnya. Pihak asuransi, misalnya dapat menolak menanggung risiko akibat penyakit genetika. Atau sebuah kantor, memecat pegawainya, gara-gara diketahui memiliki potensi penyakit keturunan.